menyeka jelaga waktu
riak mengubur desiran jam pasir
waktu terdiam
mengerut di cangkir
seribu jarak mengental
pejalan kaki mengulang baris kering dedaunan
menyusut di ujung tikungan
mati di halaman kesunyian malam
Musim Seribu
kemarin malam, Aku menyimpan sebuah kata. hari ini dia telah menghilang ke dalam matamu.
Kamis, 29 September 2011
halaman senja
siapa yang menungguku disana?
mungkin hanya selarik jubah masa silam
selarik tungku yang terdiam
siapa yang menyapaku di ujung lorong itu?
aku tak bisa melihatnya—
mataku terlalu jauh untuk melihat masa depan
untuk mencicipi airmatamu
siapa yang menyapaku di ujung lorong itu?
aku tak bisa mendengarnya
mungkin hanya sebatas latar taman
sebatas langkah kakiku menyeret keasingan malam
sebatas sayapku mengepakkan bumi
sebuah tangan menyentuh keheninganku
aku terkejut mendapati orang di sampingku telah lenyap
seperti garam yang kubuang ke aliran darahku
aku terkejut disampingku tak ada siapapun
tak ada yang memberiku sepasang nada—seperti dulu
aku sendiri
lalu siapa yang menungguku disana?
apakah kepakan pepohonan atau bisikan ranting-ranting?
tiba-tiba jiwaku bergumam
tak ada yang menungguku disana
di ujung kaki takdir
di akhir segala riak
siapa yang menungguku disana?
atau apakah yang menungguku disana?
mungkin hanya selarik jubah masa silam
selarik tungku yang terdiam
siapa yang menyapaku di ujung lorong itu?
aku tak bisa melihatnya—
mataku terlalu jauh untuk melihat masa depan
untuk mencicipi airmatamu
siapa yang menyapaku di ujung lorong itu?
aku tak bisa mendengarnya
mungkin hanya sebatas latar taman
sebatas langkah kakiku menyeret keasingan malam
sebatas sayapku mengepakkan bumi
sebuah tangan menyentuh keheninganku
aku terkejut mendapati orang di sampingku telah lenyap
seperti garam yang kubuang ke aliran darahku
aku terkejut disampingku tak ada siapapun
tak ada yang memberiku sepasang nada—seperti dulu
aku sendiri
lalu siapa yang menungguku disana?
apakah kepakan pepohonan atau bisikan ranting-ranting?
tiba-tiba jiwaku bergumam
tak ada yang menungguku disana
di ujung kaki takdir
di akhir segala riak
siapa yang menungguku disana?
atau apakah yang menungguku disana?
menyambut tahun baru
tahun itu berguguran—
seperti sayapku yang retak
membujur antara menit dan kebekuan
menjelma pada sore yang tak pernah tampak
tahun itu mengingatkanku pada sebuah garpu—
yang menggantung di sebuah sarapan
kemudian tahun itu mengendap
di antara rumput dan nyanyian musim
mengambil semua masa lalu kedalam reruntuhan waktu
tahun itu membisu—
karena tak ada lagi yang bisa dipijak—
tahun itu mati
menggangankan lagu yang tak pernah ada
seperti sayapku yang retak
membujur antara menit dan kebekuan
menjelma pada sore yang tak pernah tampak
tahun itu mengingatkanku pada sebuah garpu—
yang menggantung di sebuah sarapan
kemudian tahun itu mengendap
di antara rumput dan nyanyian musim
mengambil semua masa lalu kedalam reruntuhan waktu
tahun itu membisu—
karena tak ada lagi yang bisa dipijak—
tahun itu mati
menggangankan lagu yang tak pernah ada
antara senja dan kerutan mata
ada yang membeli segenggam langit
dan torehan malam
lalu menjualnya kepada secarik kegelapan
aku masih diam di tempat tidurku
memandangi serangga yang bertengger di ujung tirai anganku
namun kini tirai itu melapuk
menangis di antara kelopak dan sayapku
di luar kudengar gumaman-gumaman beku
menguar di antara kening dan pintu kamarku
gumaman itu bertambah berat—jauh
siapakah yang bertutur dengan gumaman itu?
sungguh dingin dan mengerikan
aku tidak suka mendengar gumaman itu
sebab gumaman itu memperjelas kesunyian—
diantara airmata dan kesepianku
memperjelas kemarahanku
yang membekas pada warna pakaian yang kukenakan
aku tidak suka mendengar gumaman itu
sebab seperti burung-burung yang timpang—
seperti darah yang terbujur di antara kulkas dan lemari pikiranku
seperti senja yang bersedih—
yang menyayat lantai lorong rumahku
ada yang membeli seliter airmata
menyelipkannya di bawah kantukku—
menyusup antara malam dan kerutan tempat tidurku
dan torehan malam
lalu menjualnya kepada secarik kegelapan
aku masih diam di tempat tidurku
memandangi serangga yang bertengger di ujung tirai anganku
namun kini tirai itu melapuk
menangis di antara kelopak dan sayapku
di luar kudengar gumaman-gumaman beku
menguar di antara kening dan pintu kamarku
gumaman itu bertambah berat—jauh
siapakah yang bertutur dengan gumaman itu?
sungguh dingin dan mengerikan
aku tidak suka mendengar gumaman itu
sebab gumaman itu memperjelas kesunyian—
diantara airmata dan kesepianku
memperjelas kemarahanku
yang membekas pada warna pakaian yang kukenakan
aku tidak suka mendengar gumaman itu
sebab seperti burung-burung yang timpang—
seperti darah yang terbujur di antara kulkas dan lemari pikiranku
seperti senja yang bersedih—
yang menyayat lantai lorong rumahku
ada yang membeli seliter airmata
menyelipkannya di bawah kantukku—
menyusup antara malam dan kerutan tempat tidurku
pantai waktu
di sepanjang dermaga :
dia berlabuh
mengambil senja dan jeritan
yang melayang di setiap nadi kanvas
buminya :
memanjang-memanjang:
akhirnya lenyap
di pagi jendela itu—
di sepanjang dermaga:
dia menggumam
bertanya pada karang dan tirai waktu
di pagi jendela itu—
dermaga suram
yang terbentang di bawah tempat tidurmu
dia berlabuh
mengambil senja dan jeritan
yang melayang di setiap nadi kanvas
buminya :
memanjang-memanjang:
akhirnya lenyap
di pagi jendela itu—
di sepanjang dermaga:
dia menggumam
bertanya pada karang dan tirai waktu
di pagi jendela itu—
dermaga suram
yang terbentang di bawah tempat tidurmu
ruang senja
aku menghitung desahan daun kering
di akhir musim
di mana para pemburu telah pulang
ke rimbunnya malam yang menggigil
: memanggil pulang semua kawanan rusa
ke balik jariku
aku sedang bersedih: sebab darahku seringan jeritku,
dan lukaku seindah gaunku
aku menghitung desah daunan
yang pulang ke hangatnya kopiku:
ke nyamannya kamar tidurku
kenapa dia menaruh kesedihan seperti itu?
membiarkan ratap dan ringkik kuda menjelma
menjadi asap pada puing-puing kota
biarkan kematian mengepakkan sayapnya:
menjemput senja yang timpang di sikumu
tapi jangan biarkan keningmu memanjat
dinding-dinding jam
membuatnya menjadi remahan roti di piringku.
pulanglah ke rumahku:
ke lorong yang lebih rumit dari gelap
ke waktu yang lebih tua dari wajah dedaunan
di akhir musim
di mana para pemburu telah pulang
ke rimbunnya malam yang menggigil
: memanggil pulang semua kawanan rusa
ke balik jariku
aku sedang bersedih: sebab darahku seringan jeritku,
dan lukaku seindah gaunku
aku menghitung desah daunan
yang pulang ke hangatnya kopiku:
ke nyamannya kamar tidurku
kenapa dia menaruh kesedihan seperti itu?
membiarkan ratap dan ringkik kuda menjelma
menjadi asap pada puing-puing kota
biarkan kematian mengepakkan sayapnya:
menjemput senja yang timpang di sikumu
tapi jangan biarkan keningmu memanjat
dinding-dinding jam
membuatnya menjadi remahan roti di piringku.
pulanglah ke rumahku:
ke lorong yang lebih rumit dari gelap
ke waktu yang lebih tua dari wajah dedaunan
musim dingin
aku menatap hujan lewat jendela kamarku
langit begitu gelap dibawah kubah matahari
ah, jangan mengajakku untuk menikmati malam
sebab bulan masih menangis di kediamannya yang kumuh
mengejar roti yang ada di meja kamarku
aku mengambil kopi,
susu, dan kelelahan
kunikmati bersama kepakan sayap liar di halaman benakku
ada yang menggigil di rumput
mungkin derit air: mungkin derit jiwaku
memanggil dalam lebatnya zaman yang kelabu
jangan buka jendela itu!: teriaknya
sebab hujan itu masih merangkak
masih mengginginkan roti yang kini ada di dalam darahku
aku masih memandangi hujan lewat jendela napasku
namun kini hujan itu menjerit:
bunuh aku!
bunuh semua rintik mimpi yang kubawa ke kardus ini
sebab bumi ini hanya sebuah kardus
yang dibuang oleh anakku sore kemarin
maka malam ini masih mengingini rotiku
roti yang kini ada di antara derasnya sejarah
sejarah yang dibuang anakku kemarin sore
maka aku masih memandangi hujan di dalam selimut waktu :
yang masih memandangi rotiku:
bersama angin membunuh lautan zaman
langit begitu gelap dibawah kubah matahari
ah, jangan mengajakku untuk menikmati malam
sebab bulan masih menangis di kediamannya yang kumuh
mengejar roti yang ada di meja kamarku
aku mengambil kopi,
susu, dan kelelahan
kunikmati bersama kepakan sayap liar di halaman benakku
ada yang menggigil di rumput
mungkin derit air: mungkin derit jiwaku
memanggil dalam lebatnya zaman yang kelabu
jangan buka jendela itu!: teriaknya
sebab hujan itu masih merangkak
masih mengginginkan roti yang kini ada di dalam darahku
aku masih memandangi hujan lewat jendela napasku
namun kini hujan itu menjerit:
bunuh aku!
bunuh semua rintik mimpi yang kubawa ke kardus ini
sebab bumi ini hanya sebuah kardus
yang dibuang oleh anakku sore kemarin
maka malam ini masih mengingini rotiku
roti yang kini ada di antara derasnya sejarah
sejarah yang dibuang anakku kemarin sore
maka aku masih memandangi hujan di dalam selimut waktu :
yang masih memandangi rotiku:
bersama angin membunuh lautan zaman
Langganan:
Postingan (Atom)